Rabu, 24 Juni 2009

Penyakit Infeksi

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara-negara sedang berkembang, seperti halnya Indonesia. Di pusat pelayanan kesehatan primer (Puskesmas), penyakit infeksi umumnya menempati 5 besar penyakit utama. Meskipun penemuan obat dan upaya terapi untuk penyakit infeksi relatif berkembang paling cepat dibandingkan dengan penyakit yang lain, tetapi morbiditasnya tetap tidak dapat ditekan pada tingkat yang minimal.



Salah satu kendala dalam proses terapi penyakit infeksi adalah sering sulitnya ditegakkan,diagnosis secara cepat dan akurat. Meskipun secara alamiah dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, parasit atau mikroorganisme lain, tetapi dalam praktek sering sulit untuk menetapkan causa primanya. Oleh sebab itu tentu diperlukan kemampuan yang memadai untuk menetapkan jenis kausanya berdasarkan gejala patognomonik masing-masing maupun berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium penunjang.

Kendala lain yang sering ditemukan adalah kurang tepatnya pemilihan jenis obat yang diberikan. Perlu diingat bahwa tidak setiap gejala demam harus selalu dikaitkan dengan infeksi bakterial misalnya. Dengan demikian, tidak setiap penyakit dengan gejala demam tinggi harus diberikan antibiotika. Selain itu beberapa penyakit pada saluran pernafasan atas, umumnya disebabkan oleh virus yang tidak memerlukan intervensi antibiotika.

Penggunaan obat yang rasional pada penyakit infeksi dengan demikian memerlukan beberapa ketentuan antara lain tepat diagnosis, tepat pemilihan jenis obat, tepat indikasi, tepat dosis, cara, frekueusi, dan lama pemberian, tepat penilaian kondisi pasien, dan dilakukan follow up setelah dimulainya pengobatan.

Dalam modul ini akan dibahas prinsip-prinsip dasar penggunaan antibiotika untuk penyakit infeksi, berdasarkan tinjauan epidemiologi, bakteriologi maupun berdasarkan masalah yang dijumpai dalam praktek sehari-hari.
.
TUJUAN

Setelah membaca modul ini mahasiswa diharapkan mampu:
1.Memahami prinsip-prinsip dasar penggunaan obat pada penyakit infeksi.
2.Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi infeksi.
3.Memeriksa secara logis berbagai penggunaan antibiotika pada penyakit infeksi ditinjau dari segi epidemiologi, bakteriologi, dan sifat risikokimiawi obat.
4.Memerikan pertimbangan pemberian antibiotika untuk keadaan khusus, misalnya kehamilan, kelainan ginjal, dan kelainan hepar.

KEPUSTAKAAN
Grahame-Smith DG and Aronson JK. Oxford Textbook of Dinical Pharmacology and drug Therapy, Oxford University Press, Oxford, 1994.
American Medical Association. Drug Evaluation. Annual. 1994. American Medical Association, New York, 1994.
Spelman D. Duration of Antibiotic Therapy, Practical Recommendations, Med. Prog, October 1994
Reese RE, Sentochnik DE, Douglas RG & Betts RF. Handbook of Antibiotics, 2nd Ed. Little, Brown and Co., Boston, 1995.
Speight TM. Avery's Drug Treatment. Principles and Practice of Dinical Pharmacology and Therapetics, 3rd ed. ADIS Press, Auckland, 1997.

PRINSIP-PRINSIP DASAR PEMILIHAN OBAT ANTIMIKROBA

Morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi di negara sedang berkembang seperti Indonesia masih cukup menonjol dan diperkirakan tetap termasuk dalam 5 penyakit utama hingga tahun 2000. Meskipun secara epidemiologi angka tersebut menurun dalam 10 tahun terakhir, tetapi penurunan ini tidak secepat pengembangan obat-obat yang ditujukan untuk mengatasi penyakit infeksi.

Besarnya anggaran belanja negara di sektor obat untuk antibiotika, misalnya masih cukup tinggi dan menyerap lebih dari 40% anggaran obat secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa upaya intervensi di seluruh sektor pelayanan kesehatan untuk penyakit infeksi masih cukup tinggi. Namun demikian pemborosan biaya obat ternyata juga bersumber dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional.

Untuk itu diperlukan beberapa prinsip dasar terapetika penyakit infeksi agar diperoleh hasil yang optimal dengan risiko yang minimal. Beberapa pertanyaan mendasar perlu dilontarkan sebelum kita memutuskan. memberikan antibiotika pada penyakit infeksi, yaitu:

1.APAKAH FOKUS PRIMER INFEKSI DAN ORGANISME Pf:NYEBAB YANG PALING MUNGKIN BERPERAN DALAM TERJADINYA INFEKSI DIKETAHUI!

Untuk menegakkan diagnosis infeksi, idealnya adalah melalui pemeriksaan bakteriologis. Namun demikian, untuk beberapa keadaan sering sulit dilakukan. Sebagai Contoh adalah penyakit infeksi yang bersifat life threatening atau mengancam jiwa seseorang. Untuk keadaan ini seringkali diagnosis ditetapkan atas dasar temuan-temuan klinik yang diperoleh selama pemeriksaan, oleh karena best guess antibiotic therapy harus segera dimulai. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini antara lain adalah lokasi primer dari infeksi (misalnya kulit, meninges, traktus urinarius, traktus respiratorius, traktus gastrointestinal, tulang, dan persendian), dan riwayat pasien sebelumnya (misalnya trauma, luka bakar, infeksi sebelumnya, atau eksposur terhadap alat medik tertentu seperti kateter dsb). Pengetahuan mengenai bakteri patogen yang terdapat secara spesifik dalam organ tubuh manusia mutlak diperlukan untuk melakukan best guess antibiotic therapy ini. Misalnya infeksi saluran kencing yang banyak terjadi pada wanita, umumnya disebabkan oleh E. coli, bronkitis akut umumnya disebabkan oleh H. influenzae dan tonsilitis folikuler akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pyogenes

Pemeriksaan tambahan (laboratorium, pengecatan Gram, dan sebagainya) meskipun tidak selalu mutlak harus dikerjakan, sering diperlukan untuk menetapkan diagnosis detinitif. atau dalam hal terjadi keraguan dari hasil pemeriksaan fisik.

Jika diagnosis telah ditegakkan dengan tepat, maka selanjutnya dapat dipilih antimikroba yang paling sesuai untuk infeksi yang bersangkutan.

2. APAKAH ADA INDIKASI UNTUK PEMBERIAN ANTIMIKROBA?

Beberapa infeksi lokal dengan tanda spesifik jelas memerlukan terapi antibiotika, misalnya pnemonia dan selulitis. Namun demikian beberapa gejala infeksi seperti demam, lekositosis, menggigil, myalgia, faringitis, disuria, dan batuk tidak selalu menjadi indikasi untuk memberikan antibiotika. Satu hal, yang perlu diingat adalah bahwa tidak setiap demam menjadi tanda adanya infeksi bakterial, Demam dapat disebabkan oleh obat (drug, fever), tumor, maupun virus yang sama sekali tidak memerlukan antibiotika. Pemberian antibiotika pada infeksi oleh virus sama sekali tidak rasional, karena di samping tidak efektif dan pemborosan biaya juga memberi risiko terjadinya efek samping pada penderita.

Sebagian besar (> 80%) infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), terutama pada anak dan balita, disebabkan oleh virus. Oleh karena itu, umumnya tidak memerlukan antibiotika. Meskipun gejala infeksi viral dan bakterial pada organ ini hampir mirip, pemberian antibiotika harus dipertimbangkan dengan seksama. Pharynx kemerahan tidak mutlak dimiliki oleh infeksi bakterial, kecuali jika disertai dengan eksudat di tonsil atau sekitar pharynx.

Seorang penderita dengan gejala klinik rinban tetapi secara fisik tampak sehat, tidak memerlukan antibiotika, kecuali jika telah diperoleh hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah ke infeksi bakterial. Pada keadaan ini pemberian antibiotika terlalu awal, apalagi jika tidak tepat jenisnya, justru akan membingungkan gambaran klinik selanjutnya. Perlu diingat bahwa pemberian antibiotika sekali dosis pada kondisi ini justru akan menekan gambaran kultur selama beberapa hari.

Tidak demikian halnya dengan keadaan-keadaan berikut yang memang memerlukan antibiotika secara cepat.
a.Pasien dengan gejala klinik derajat sedang hingga berat, disertai dengan lesi fokal, misalnya pnemonia, infeksi saluran kencing, infeksi saluran empedu mutlak memerlukan antibiotika.
b.Penderita sepsis
c.Penderita dengan demam dan lekopenia
d.Endokarditis akut
e.Meningitis bakterial
f.Selulitis nekrotikans akut.

3.JIKA TELAH DIPUTUSKAN UNTUK MEMBERIKAN ANTIBIOTIKA, APAKAH KEPUTUSAN TERSEBUT DIDASARKAN PADA HASIL PEMERIKSAAN YANG AKURAT

Untuk menentukan bakteri patogen penyebab infeksi, mutlak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pengecatan Gram dapat sangat membantu hal ini. Sebagai contoh adalah meningitis. Pada keadaan ini, hasil pengecatan Gram pada cairan serebrospinal (CSS) dapat digunakan untuk segera memulai terapi dengan benzilpenisilin. (biasanya ditemukan banyak bentuk polimorf dan diplokokus Gram negatif berbentuk ginjal). Bakteri diplokokus Gram (+) pada CSS hampir pasti adalah pnemokokus yang sensitif terhadap benzilpenisilin, sedangkan Gram (-) basili pada CSF biasanya mengarah pada H, influenzae, yang sensitif terhadap kloramfenikol dan ampisilin.

Umur pasien juga menjadi pertimbangan penting dalam menetapkan jenis terapi. Sebagai contoh, meningitis pada neonatus umumnya disebabkan oleh streptokokus group B. Pada anak umur kurang dari 2 tahun biasanya disebabkan oleh H. Influenzae, S. pneumoniae, atau N. Meningitis. Kedua bakteri terakhir banyak berkaitan dengan meningitis pada dewasa.

Pemilihan antibiotika dan penetapan dosis tentunya juga harus mempertimbangkan umur pasien. Misalnya tetrasiklin hendaknya tidak diberikan pada anak umur kurang dari 8 tahun karena menyebabkan diskolorisasi pada gigi. Jika kloramfenikol terpaksa harus diberikan pada neonatus maka monitoring kadar obat harus dilakukan untuk menghindari terjadinya grey baby syndrome.
Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah beratnya penyakit. Misalnya pada sepsis dengan sebab yang tidak jelas, biasanya memerlukan pemberian antibiotika kombinsi. Demikian pula halnya dengan infeksi berat pada pelvis atau abdomen umumnya memerlukan kombinasi antibiotika untuk memperluas spektrum antibakteri.

Data epidemiologi infeksi penting juga diperhatikan dalam proses terapetika. Infeksi yang diperoleh di rumah sakit (hospital aqcuired infections) umumnya disebabkan oleh bakteri Gram (-) yang resisten terhadap penisilin, ampisilin, dan antibiotika lain yang sering diresepkan pada penderita rawat jalan. Untuk itu, pemberian aminoglikosida, misalnya, sering menjadi pilihan pertama pada keadaan ini di rumah sakit. Demikian pula halnya dengan infeksi yang terjadi pada pasien yang dirawat di Unit Perawatan Intensif, biasanya disebabkan oleh bakteri Gram (-) yang resisten.

Infeksi yang diduga disebabkan oleh stafilokokus, baik yang diperoleh di rumah sakit maupun di komunitas, biasanya dianggap resisten terhadap penisilin. Dengan demikian pemberian penisilin atau derivatnya sebaiknya dihindari.





4.JIKA TERSEDIA LEBIH DARI SATU JENIS ANTIBIOTIKA UNTUK TERAPI INFEKSI YANG BERSANGKUTAN, ANTIBIOTIKA YANG MANAKAH YANG SEBAIKNYA DIBERIKAN PADA PASIEN?

a. Pertimbangan segi risiko dan keamanan bagi pasien

Dalam farmakoterapi selalu dikenal drug of choice atau obat pilihan utama. Jika karena suatu sebab (misalnya alergi) pemberian obat pilihan utama ini tidak dapat dilakukan, maka selalu tersedia obat alternatif.

Yang perlu diingat adalah perlunya menanyakan riwayat hipersensitivitas terhadap antibiotika tertentu. Penderita yang mempunyai riwayat alergi terhadap penisilin umumnya juga alergi terhadap derivat-derivat penisilin.

Efek samping akibat pemberian penisilin dilaporkan terjadi pada 1-10% populasi pengguna penisilin, sedang kasus fatal hanya terjadi pada sekitar 0,002 % pasien. Namun demikian, meskipun secara kuantitatif relatif kecil, perlu selalu diwaspadai berbagai kemungkinan efek samping yang dapat membahayakan pasien. Ingat pula bahwa drug fever akibat pemberian penisilin juga dapat terjadi pada pasien-pasien tertentu. Untuk itu maka setiap gejala demam yang dicurigai tidak membaik setelah pemberian penisilin mungkin berkaitan dengan drug fever ini.

Meskipun secara epidemiologi tidak begitu besar (5-15 %), reaksi silang akibat pemberian sefalosporin dialami .juga oleh pasien yang alergi terhadap penisilin. Oleh sebab jika ditemukan riwayat alergi penisilin sebelumnya maka pemberian sefalosporin juga harus dipertimbangkan secara seksama.

b. pH dan kemampuan penetrasi antibiotika pada daerah infeksi

Pertimbangan ini sangat penting terutama pada infeksi yang terjadi di sistema saraf pusat. Aminoglikosida, klindamisin, sefalosporin generasi I dan beberapa sefalosporin generasi III tidak menembus sawar darah otak dengan baik, sehingga tidak pernah dianjurkan untuk terapi meningitis. Berdasarkan sifat keasamannya, antibiotika golongan aminoglikosida terbukti lebih efektif pada media alkali, sedangkan pada pus dan sputum pH asam justru mengganggu aktivitas antibiotika ini.
.
c. Sifat antibiotika

Antibiotika yang bersifat bakteriostatik bekerja dengan menghambat pertumbuhan bakteri, dengan demikian akan sangat tergantung pada kondisi tubuh kita, Jika kondisi tubuh lemah dan oleh suatu sebab antibiotika harus dihentikan, maka bakteri yang semula dihambat pertumbuhannya akan berkembang, memperbanyak diri, dan justru menimbulkan kekambuhan penyakit. Berbeda halnya dengan antibiotik yang bersifat bakterisid, yang tidak tergantung pada mekanisme pertahanan tubuh. Pasien dengan neutropenia atau mengalami penekanan sistem imunitas (immunosuppressed patient) sebaiknya mendapat antibiotika yang bersifat bakterisidal.

d. Broad spektrum atau narrow spektrum

Terapi infeksi secara empirik umumnya lebih banyak mengandalkan penggunaan antibiotika berspectrum lebar (misalnya kloramfenikol dan amoksisilin). Namun demikian, idealnya digunakan antibiotika narrow spektrum (misalnya penisilin) jika kuman penyebab diketahui secara pasti. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko terjadinya resistensi secara cepat pada beberapa jenis kuman dalam tubuh.

e. Pertimbangkan biaya antibiotika untuk 1 course of treatment

Sebagian besar antibiotika mahal harganya, dan terbukti bahwa secara nasional justru menjadi beban dari keseluruhan biaya pengobatan. Sebagai ilustrasi, sekitar 40% anggaran belanja obat nasional digunakan untuk antibiotika, yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan (brand name drug). Sementara berbagai penelitian menemukan bahwa pemborosan dana di sektor antibiotika ini terjadi karena penggunaannya yang tidak rasional. Sebagai contoh, lebih dari 80% ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) disebabkan oleh virus, sehingga antibiotika sama sekali tidak diperlukan. Tetapi dalam kenyataannya di Puskesmas maupun praktek swasta, antibiotika justru diberikan pada sekitar 90% penderita ISPA. Hal ini tentu pemborosan yang justru membebani penderita dan keluarganya.

Jika dalam kenyataannya tersedia antibiotika yang harganya lebih murah (sediaan generik) tetapi mutu dan efikasi kliniknya sebanding, mengapa harus memilih antibiotika yang mahal? Praktek semacam ini dianggap tidak rasional (irrasional prescribing).

f.Pertimbangkan kebutuhan pasien (patient’s compliance)

Makin sering antibiotika harus diminum oleh pasien maka makin berkurang pula kepatuhan pasien untuk minum obat. Sebagai contoh pemberian antibiotika dengan frekuensi 1-2 kali sehari akan lebih mudah dipatuhi dibandingkan pemberian 3-4 kali sehari. Di samping itu, dari segi biaya mungkin lebih cost effective untuk 1 cost of treatment. Pada saat ini telah hanyak dikembangkan antibiotika yang dapat diberikan 1 kali sehari (misalnya azitromizin dan doksisiklin) atau 2 kali sehari (misalnya minosiklin, siprofloksasin, dan kotrimoksazol), meskipun harganya per satuan lebih mahal dibandingkan dengan antibiotika yang lain.

Beberapa penelitian juga menemukan bahwa makin banyak jenis antibiotika yang diresepkan pada satu pasien maka makin berkurang pula kepatuhan pasien untuk minum obat. Apalagi jika aturan pemakaiannya berbeda (misalnya yang satu diberikan 3x sehari dan yang lain 4x sehari). Pemberian antibiotika secara kombinasi harus didasarkan pada persyaratan yang ketat, antara lain (1) jika terbukti efek sinergisnya meningkatkan clinical efficacynya (misalnya sulfametoksazol + trimetoprim); (2) mengurangi risiko terjadinya resistensi; (3) mengurangi risiko efek samping; dan (4) terbukti secara ilmiah melihatkan berbagai bakteri yang hanya dapat diatasi dengan antibiotika kombinasi.
5. FAKTOR LAIN APAKAH YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN PADA PEMBERIAN
ANTIBIOTIKA?

Meskipun pemakaian antibiotika dapat bersifat universal, artinya dapat digunakan pada siapa saja dengan bakteri penyebab yang sama, tetapi pendekatan individual sangat diperlukan untuk meningkatkan efek klinik dan mengurangi risiko efek samping. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara lain adalah:



a.Faktor Genetik
Pemberian preparat sulfa dan nitrofurantoin pada penderita G6-PD harus dihindari karena akan memacu terjadinya hemolisis.

b.Farmakokinetika
Beberapa antibiotika dapat menembus sawar darah otak pada keadaan inflamasi sementara yang lain justru efektif pada keadaan non-inflamasi. Demikian pula halnya dengan absorpsi antibiotika dalam lambung. Ampisilin, misalnya akan terganggu absorpsinya jika terdapat makanan dalam lambung. Dengan kata lain pemberian ampisilin sesaat sebelum atau setelah makan sangat tidak dianjurkan. Tidak demikian halnya dengan amoksisilin yang tidak dipengaruhi oleh adanya makanan dalam lambung.

Beberapa hal berikut dapat digunakan sebagai pegangan dalam proses terapetika dengan antibiotika
-Pada keadaan abses, penetrasi antibiotik sangat buruk. Oleh sebab itu drainage abses sebelum pemberian antibiotika sangat dianjurkan
-Kadar ampisilin, tetrasiklin, dan amoksisilin cukup tinggi dalam saluran empedu. Dengan demikian ketiga antibiotika tersebut cukup efektif pada terapi infeksi traktus hiliaris.
-Kemampuan linkomisin, klindamisin, asam fusidat, dan penisilin tahan penisilinase untuk menembus tulang cukup tinggi. Sehingga obat tersebut dianjurkan untuk osteomyelitis yang disebabkan oleh stafilokokus
-Pada infeksi saluran kencing yang disertai dengan inflamasi jaringan dengan banyak pus dan bakteri dalam urin, diperlukan antibiotika yang tidak hanya mencapai bakteri dalam jaringan dalam traktus urinarius, tetapi juga mencapai kadar yang cukup tinggi dalam urin. Contrimoksazol, amoksisilin, sulfonamida, nitrofurantoin, asam nalidiksat, dan gentamisin menjadi pilihan antibiotika untuk keadaan tersebut.

c.Kehamilan dan menyusui
Sebagian besar antibiotika dapat menembus plasenta dan terdapat dalam sirkulasi darah janin. Beberapa jenis antibiotika diketehui memberi efek buruk pada janin dan harus dihindari selama kehamilan (misalnya kloramfenikol, metronidazol, tetrasiklin, dan sulfa)
Antibiotika yang terbukti amanselama masa kehamilan adalah penisilin, sefalosporin dan eritromisin basa.

d.Fungsi ginjal
Pada penderita dengan kelainan ginjal atau gagal ginjal, pemberian antibiotika harus mempertimbangkan jenis dan dosisnya. Jika terpaksa harus memberikan antibiotika yang ekskresi utamanya di ginjal, maka harus dilakukan monitoring fungsi ginjal secara ketat selama pasien minum obat.

e.Fungsi hepar
Pada penderita dengan kelainan hepar pemberian antibiotika akan memperpanjang waktu paruhnya. Pemberian beberapa antibiotika (misalnya kloramfenikol, klindamisin, dan eritromisin) pada kondisi ini perlu pertimbangan yang seksama.

f.Mekanisme pertahanan humoral dan selular tubuh
Penderita-penderita yang mendapat terapi kortikosteroid, kemoterapi atau radiasi, khususnya pada keadaan lekopeni, memiliki risiko tinggi untuk terjadinya infeksi bacterial. Oleh sebab itu antibiotika yang bersifat bakterisidal yang harus diberikan pada kondisi seperti tersebut.

g.Resistensi bakteri
Terjadinya resistensi bakteri akibat penggunaan antibiotika secara tidak rasional telah banyak diteliti. Terlalu sering dan mudahnya meresepkan antibiotika broad spectrum untuk kasus-kasus yang jelas memerlukan antibiotika narrow spectrum (misalnya faringitis streptokokus beta hemolitikus Group A) menjadi salah satu penyebab makin cepatnya terjadinya resistensi bakteri. Infeksi oleh bakteri stafilokokus di rumah sakit umumnya resisten terhadap penisilin oleh karena mereka memproduksi enzim penisilinase. Oleh sebab itu untuk kasus ini sebaiknya diberikan flukloksasilin atau dengan menambahkan asam klavulanat pada sediaan penisilin.

6.BAGAIMANA MENETAPKAN CARA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA
Tergantung pada sifat fisikokimiawinya, beberapa antibiotika akan diabsorpsi lebih baik pada pemberian oral (misalnya amoksisilin), sedangkan antibiotika yang lain justru tidak diabsorpsi pada pemberian oral (penisilin). Oleh sebab itu diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai cara pemberian antibiotika.

a.Pemberian secara oral
Sebagian besar kaksus infeksi pada penderita rawat jalan memberikan respons baik pada pemberian antibiotika secara oral, misalnya infeksi pada kulit, faringitis bacterial, infeksi saluran kencing, dan bronchitis.
Beberapa kasus infeksi pada penderita rawat inap pun memberi respons baik pada pemberian antibiotika secara oral apabila setelah beberapa hari pemberian secara parenteral menunjukkan adanya perbaikan. Sebagai contoh adalah pada penderita pyelonefritis tanpa komplikasi yang mengalami perbaikan setelah 3-4 hari pemberian ampisilin secara parenteral. Terapi pada hari ke 4 dst dapat dialnjutkan dengan amoksisilin oral. Demikian pula halnya dengan pemberian klindamisin parenteral pada luka bakar yang dapat dilanjutkan dengan pemberian per oral setelah beberapa hari pengobatan.

b.Pemberian secara intravenosa
Pemberian antibiotika secara intravenosa umumnya dilakukan untuk tujuan penyelamatan, pada kasus infeksi berat yang memerlukan terapi segera (misalnya spsis dan meningitis). Route pembrian IV juga dilakukan juka pada pemberian secara IM terbukti terjadi hipotensi atau perdarahan diatesis.

c.Pemberian secara intramuskuler
Antibiotika golongan aminoglikosida dan prokain penisilin pemberian kadar dalam serum yang tinggi pada pembrian IM, sementara beberapa antibiotika yang lain justru sebaliknya setelah pemberian beberapa dosis.

7.BAGAIMANA MENETAPKAN DOSIS ANTIBIOTIKA ?
Penetapan dosis antibiotika umumnya didasarkan atas berat badan. Secara rinci besarnya dosis untuk masing-masing antibiotika dapat dilihat pada kuliah Semester IV atau pada buku-buku teks standar. Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah penetapan dosis pada neonatus, bayi premature, maupun usia lanjut, dan penderita dengan kelainan hepar, atau ginjal yang memerlukan penghitungan secara khusus.

8.BEBERAPA LAMA ANTIBIOTIKA HARUS DIBERIKAN ?
Untuk menentukan berapa lama antibiootika harus diberikan pada seorang pasien, sangat tergantung pada kondisi pasien maupun sifat ekologis bakteri. Sebagai contoh, penderita dengan infeksi kronis obstruktif jalan nafas eksaserbasi akut akan memerlukan pemberian antibiotika lebih lama jika dibandingkan dengan infeksi akutnya. Demikian juga halnya dengan bakteri yang lebih resisten (misalnya P. aeruginosa) mungkin memerlukan terapi antibiotika yang lebih lama. Pertimbangan lain adalah, semakin lama antibiotika diberikan akan semakin meningkatkan risiko terjadinya resistensi.

Beberapa pertanyaan kunci
1.apa saja yang harus dipertimbangkan pada pengobatan pada penyakit infeksi ?
2.faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan terapi pada penyakit infeksi ?
3.sebutkan komponen-komponen yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan jenis antibiotika!
4.kapan terapi obat pada penyakit infeksi dikatakan tidak rasional ?
5.kapan antibiiotika kombinasi boleh diberikan ?



Dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian, maka lama pemberian antibiootika yang optimal untuk kondisi tertentu dapat diketahui dengan pasti


0 komentar:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Dresses. Powered by Blogger