Sabtu, 27 Juni 2009

Konsultasi dengan Apoteker di Apotek

Ada hal menarik yang saya temukan di Republika Online 9 November 2004 yang di asuh oleh DR. Ernawati Sinaga, MS, Apt, dimana ada seorang pasien yang sangat ingin berkonsultasi dengan Apoteker, menurut saya. hal ini harus saya bagi ke kawan-kawan sejawat, bahwa sebenarnya keberadaan profesi kita itu dianggap penting oleh nasyarakat hanya terkadang kita sendiri yang membuat keberadaannya antara ada dan tiada...Viva Apoteker Indonesia

ini adalah pertannya yang saya kutip dari Republika Online...

Yang terhormat pengasuh konsultasi,
Saya sering kali membaca saran ibu ketika menjawab pertanyaan dalam rubrik ini untuk bertanya atau berkonsultasi dengan apoteker di apotek ketika kita menebus resep atau ingin membeli obat di apotek. Menarik sekali anjuran itu karena biasanya, menurut pengalaman dan pengamatan saya, jarang sekali bertemu apoteker di apotek. Apalagi bisa berkonsultasi. Saya tidak tahu, apakah ini karena apotekernya tidak ada di apotek atau memang apoteker tidak mau melayani langsung konsumen. Kalau kita bertanya tentang obat yang kita tebus, paling yang menjawab adalah asisten apoteker. Padahal kita tentu akan sangat senang jika dapat bertanya dan dijawab langsung oleh apotekernya.

Pertanyaan saya, bagaimana caranya agar kita, para pasien ini, dapat bertemu dan berkonsultasi langsung dengan apoteker di apotek? Apakah harus dengan perjanjian atau bagaimana? Kedua, pertanyaan apa saja yang boleh ditanyakan kepada apoteker di apotek? Apa hanya tentang obat saja, ataukah segala sesuatu tentang kesehatan kita? Terimakasih atas jawaban Ibu. Kalau boleh saya usul Bu, barang kali apoteker dapat membuat jam praktik seperti halnya dokter, supaya lebih mudah ditemui. Terima kasih.

Nazaruddin
Semarang

Jawab:
Pak Nazarudin yang baik,
Pertama, saya mengucapkan terima kasih atas surat bapak, yang mudah-mudahan di samping bertanya juga merupakan kritik yang sehat untuk saya dan teman-teman. Saya juga memohon maaf, karena situasi pelayanan kefarmasian di apotek saat ini belum optimal.

Memang seharusnya sepanjang jam buka apotek, apoteker harus ada di tempat. Sebab, apotek sebenarnya bukan tempat jual beli obat, melainkan tempat melakukan pelayanan kefarmasian. Dan yang harus melakukan dan bertanggung jawab atas pelayanan kefarmasian di sebuah apotek adalah apoteker pengelola apotek tersebut, tentu saja dengan bantuan tenaga kesehatan dan nonkesehatan lainnya.

Namun demikian, sebagaimana yang bBapak sampaikan, tidak dapat saya pungkiri bahwa sebagian apoteker memang sering kali belum dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Walau demikian, perbaikan dan peningkatan peran apoteker ini selalu diupayakan dari waktu ke waktu, baik oleh masyarakat apoteker itu sendiri dan juga oleh pemerintah. Kritik dan saran dari masyarakat, sebagaimana surat yang bapak layangkan ini akan menjadi pendorong yang kuat bagi percepatan proses perbaikan tersebut.

Menjawab pertanyaan bapak, bagaimana caranya agar dapat berkonsultasi dengan apoteker di apotek, dapat saya sampaikan bahwa sebagaimana yang tadi saya sampaikan. Yaitu, seharusnya di tiap apotek yang buka ada apoteker yang bertugas. Dan, merupakan hak konsumen yang meminta pelayanan kefarmasian di suatu apotek (menebus obat atau membeli obat dalam rangka pengobatan sendiri) untuk juga dapat berkonsultasi dengan apoteker di apotek tersebut.

Jadi, prosedurnya tidak rumit, Pak. Katakan saja kepada petugas yang melayani bahwa bapak ingin berkonsultasi dengan apoteker. Seharusnya mereka akan melayani bapak dengan baik dan mempersilakan bapak untuk langsung bertemu dengan apoteker yang bertugas. Menurut hemat saya, tidak perlu memakai perjanjian segala, sebab bukankah apoteker harus stand by ketika apotek buka? Namun, tidak ada salahnya jika sebelum bapak datang ke apotek, bapak menelepon petugas apotek lebih dahulu dan membuat janji untuk bertemu apoteker. Ini tentu akan lebih menyenangkan bagi kedua belah pihak.

Mengenai usul bapak agar apoteker juga membuat jam praktik seperti halnya sejawat para dokter mungkin juga ada baiknya. Walaupun sebenarnya apoteker memang harus ada di apotek sepanjang jam buka apotek. Mudah-mudahan usul bapak ini dapat menggerakkan masyarakat apoteker untuk memikirkannya. Pertanyaan apa saja yang boleh ditanyakan kepada apoteker di apotek? Apoteker adalah salah satu pilar dalam profesi pelayanan kesehatan. Dalam pendidikannya apoteker belajar banyak tentang tubuh manusia, penyakit, dan tentu saja obat-obatan.

Tentang penyakit, ilmu yang dimiliki para apoteker secara formal tentu tidak sebanyak dokter. Namun, apoteker yang baik selalu menambah dan menyegarkan pengetahuannya secara terus menerus. Di masyarakat apoteker, selalu ada program peningkatan pengetahuan seperti ini yang dikenal dengan istilah pendidikan berkelanjutan. Sehingga dapat saja pengetahuan seorang apoteker tentang penyakit menjadi cukup luas. Apalagi pengetahuan tentang penyakit ini sangat diperlukan dan sangat erat hubungannya dengan ilmu obat-obatan yang menjadi tugas utama profesinya.

Sebab itu, bapak boleh bertanya banyak hal pada apoteker, baik tentang obat maupun tentang penyakit dan hal-hal lain yang menyangkut kesehatan pasien. Apoteker itu sendiri nanti yang membatasi diri, apakah suatu pertanyaan dapat dijawabnya secara profesional atau mereka akan menyarankan bapak untuk bertanya kepada ahli kesehatan yang lebih kompeten.

Sebenarnya setiap kali menebus resep di apotek, ada baiknya kita menyempatkan untuk berkonsultasi dengan apoteker yang bertugas. Demikian pula jika kita membeli obat di apotek dalam rangka pengobatan sendiri (swamedikasi). Sekarang sudah tidak zamannya lagi pasien atau konsumen kesehatan menjadi obyek yang pasif dari suatu tindakan kesehatan. Pasien merupakan salah satu anggota dari tim perawatan kesehatan seseorang bukan hanya dokter, apoteker, dan perawat saja. Jadi, pasien tidak bisa pasif, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada dokter dan apoteker.

Pasien harus aktif. Jika berkonsultasi tentang penyakit atau gangguan kesehatan yang Anda rasakan, siaplah berdiskusi dengan dokter. Begitu pula jika Anda ke apotek, berdiskusilah dengan apoteker. Anda tidak saja boleh bertanya, melainkan juga harus memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya kepada dokter atau apoteker tentang kondisi kesehatan yang Anda rasakan, agar beliau dapat membantu Anda secara optimal.

Jika Anda menerima obat, baik yang berasal dari resep ataupun obat yang dibeli bebas (tanpa resep), segera baca label dan petunjuk penggunaannya. Jika ada sesuatu yang kurang Anda mengerti segera tanyakan langsung kepada apoteker yang bertugas. Tanyalah segala sesuatu tentang obat tersebut sampai Anda benar-benar faham tentang penggunaannya dan risiko penggunaannya.

Beberapa pertanyaan yang dapat Anda ajukan misalnya, 'Bagaimana cara menggunakan obat tersebut yang sebaik-baiknya?' 'Jika obat harus ditelan, dengan apa meminumnya dan kapan waktu yang paling cocok, sebelum makan, setelah makan atau bersamaan dengan waktu makan?' 'Bagaimana jika Anda kelupaan atau terlambat mengkonsumsinya?' 'Bagaimana efek samping yang mungkin muncul selama menggunakan obat tersebut?' 'Apa yang harus Anda lakukan jika sekiranya efek samping tersebut muncul?' 'Apakah obat tersebut mempunyai efek yang tidak baik jika digunakan bersama dengan obat atau suplemen makanan yang sedang Anda konsumsi saat bersamaan?' 'Bagaimana cara menyimpan obat tersebut dengan baik, di kulkas, lemari obat keluarga atau di tempat lain yang khusus?'

Jika harga obat cukup mahal, tanyakan kepada apoteker apakah dapat diganti dengan obat generik. Dan, masih banyak pertanyaan lain yang dapat Anda tanyakan. Jangan lupa, Pak, di samping bertanya sebaiknya Anda juga mencatat hasil diskusi Anda dengan apoteker agar tidak ada hal yang terlupa. Demikian yang dapat saya sampaikan mudah-mudahan bermanfaat. Salam. DR Ernawati Sinaga, MS, Apt.

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 26 Juni 2009

Form Dupak Apoteker

Buat form DUPAK APT males...ni saya kasih gratis tinggal di isi...biar cepat naik pangkat he,he...but jangan lupa tinggalin commentnya

Download disini


Download satu lagi


comment boz ... jangan lupa boz...

[+/-] Selengkapnya...

Klasifikasi Berbagai Anti Mikrobial

I. PENDAHULUAN :PEMILIHAN DAN PEMAKAIAN AB UNTUK PROFILAKSIS DAN TERAPI

A. PERMASALAHAN AB
1.KETERSEDIAAN MACAM AB >>
2.KELANGKAAN INFO YANG OBJEKTIF DAN UP TO DATE
3.DIAGNOSA DENGAN MIKROBIOLOGI DAN PATOLOGI KLINIK YANG MAHAL
4.PEMAKAIAN AB DALAM KLINIK BELUM RASIONAL (JENIS, JALUR, FREKUENSI, LAMA PEMBERIAN AB)

B. PENGGOLONGAN AB BERDASARKAN :
1.STRUKTUR
2.SIFAT : BAKTERISID, BAKTERIOSTATIK
3.SPEKTRUM : BROAD, NARROW
4.MEKANISME KERJA

C. AB UNTUK TERAPI
1.SYARAT : PAHAM
2.PATOFISIOLOGI, TAHU KUMAN PENYEBAB
3.DASAR : EDUCATED GUESS
4.TENTUKAN : TERAPI TUNGGAL ATAU TERAPI KOMBINASI

D.TERAPI (Tx) TUNGGAL
1.GUNAKAN AB SPEKTRUM SEMPIT DAHULU
2.JENIS, JALUR, FREKUENSI DAN LAMA PEMBERIAN HARUS PAS / RASIONAL
3.HATI-HATI ESO
4.KI SERING TERJADI PADA : IBU HAMIL, IBU MENYUSUI, LANSIA, ANAK/BALITA, FAKTOR ALERGI

E.TERAPI KOMBINASI
1.TUJUAN : - MENINGKATKAN SPEKTRUM
CONTOH : TBC
2.TERJADI INFEKSI CAMPURAN
CONTOH : PERITONITIS
3.CEGAH RESISTENSI
CONTOH : TBC]
4.KERUGIAN TERAPI KOMBINASI : - RESISTENSI KUMAN
- ESO MENINGKAT
- MANFAAT KLINIK TAK OPTIMAL
- PEMBOROSAN BIAYA
I. PENICILLIN

PENISILIN

Sejak pertama kali diteliti oleh Fleming pada tahun 1929 melalui koloni stafilokokus yang terkontaminasi Penisilium, penisilin menjadi antibiotika pertama yang digunakan dalam klinik secara luas. Batas antara dosis terapi dan dosis toksik sangat lebar, sehingga relatif aman dibanding antibiotika yang lain. Penisilin kurang poten terhadap bakteri gram negatif, dan sebagian besar dirusak oleh beta-laktamase (penisilinase). Beta-laktamase biasanya dihasilkan oleh Stafilokokus aureus, beberapa E. coli, Proteus mirabilis, dan Pseudomonas aeruginosa.

Secara umum penisilin didistribusikan dengan baik ke seluruh bagian tubuh, mencapai kadar terapetik di pleura, peritoneal, abses, dan cairan sinovial. Distribusi ke mata dan otak relatif sedikit, sedangkan kadarnya di urin cukup tinggi. Kadar penisilin di cairan serebrospinal kurang dari 1% dari nilai plasma pada kondisi meninges yang tidak inflamasi, dan kadar ini meningkat hinggga 5% kadar dalam plasma, selama proses inflamasi.


Pengelompokan penisilin

Berdasarkan aksinya:
1.Aktif terhadap Gram (+), dirusak oleh beta-laktamase, misal: penisilin G
2.Relatif stabil terhadap asam lambung sehingga dapat diberikan dalam bentuk oral, misal: penisilin V, ampisilin, kloksasilin
3.Aktif terhadap Gram (+), resisten terhadap stafilokokus penghasil beta-laktamase, misal: metisilin, nafsilin
4.Relatif aktif terhadap Gram (+) & (-), dirusak oleh beta-laktamase, misal: tikarsilin, karbenisilin

Berdasarkan spektrum antibakteri:
1.Narrow spectrum, sensitif terhadap beta-laktamase misal: penisilin G (bensil-penisilin), benzatin penisilin, prokain penisilin, penisilin V (fenoksimetil-penisilin)
2.Narrow spectrum, resisten terhadap beta-laktamase misal: metisilin, oksasilin, nafsilin, kloksasilin, dikloksasin
3.Broad spectrum, aminopenisilin misal: ampisilin, amoksisilin
4.Extended spectrum, antipseudomonas, misal: karbenisilin, tikarsilin, piperasilin

Mekanisme aksi

Penisilin bersifat bakterisidal, dengan efek utama menghambat sintesis dinding sel bakteri yang sedang aktif membelah, sehingga dinding sel menjadi lemah, lisis, dan menyebabkan kematian bakteri




Farmakokinetika

Sebagian besar penisilin hanya dapat diberikan per parenteral karena dirusak oleh asam lambung, kecuali penisilin V, amoksisilin, ampisilin, dan flukloksasilin yang dapat diberikan per oral. Ampisilin sebaiknya diberikan pada saat perut kosong atau di antara 2 makan, karena absorpsinya terganggu oleh adanya makanan dalam lambung.

Di dalam tubuh, penisilin terdistribusi secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh, dengan penetrasi ke persendian, pleura, dan mata, terutama jika terjadi radang (inflamasi). Seperti halnya antibiotika pada umumnya, konsentrasi penisilin di dalam cairan serebrospinal (CSS) dan penetrasinya ke jaringan tergantung pada ikatan obat pada protein serum. Sebagai contoh protein binding dari oksasilin dan nafsilin relatif tinggi (>90%), dengan penetrasi ke CSS yang buruk. Sedangkan protein binding dari ampisilin ( 30%) relatif rendah, dan penetrasi ke CSS jauh lebih baik.

Penisilin termasuk very low dose-related toxicity (efek toksik obat karena penambahan dosis, relatif kecil). Dengan demikian, penambahan dosis untuk meningkatkan konsentrasinya dalam jaringan yang inflamsi jarang menimbulkan efek samping.

Sebagian besar penisilin mengalami sirkulasi enterohepatik (setelah ekskresi bilier, diabsorpsi di usus halus dan diekskresi melalui ginjal). Dengan demikian kadarnya di kandung empedu relatif tinggi, kecuali jika terjadi obstruksi bilier. Ekskresi penisilin melalui sekresi tubular dapat dihambat oleh probenesid. Dengan menambahkan probenesid 1 gr tiap 12 jam, kadar penisilin di dalam darah dapat dipertahankan tetap tinggi, dan ekskresinya di tunda. Keadaan ini menguntungkan untuk mengatasi infeksi yang memerlukan kadar antibiotika yang tetap tinggi dalam satu periode waktu.

Efek samping

Hampir semua penisilin dapat memberi risiko efek samping alergi atau hipersensitivitas, mulai dari yang tipe cepat (dimediasi oleh IgE) seperti urtikaria, wheezing, dan anafilaksi, hingga yang tipe lambat seperti ruam kulit dan sindroma serum sickness. Efek samping yang lain dapat berupa nefritis interstitial, anemia hemolitik, netropenia, pansitopenia, eosinofilia, drug fever, dan vaskulitis.


Riwayat alergi sebelumnya terhadap penisilin dan derivatnya harus selalu ditanyakan ke pasien sebelum memberikan terapi dengan penisilin untuk menghindari risiko efek samping tersebut.


PENISILIN G DAN V

Penisilin G tidak stabil dalam kondisi asam dan secara cepat terhidrolisis di dalam lambung yang berisi makanan. Penisilin yang tidak dapat terabsorpsi ini akan dirusak oleh bakteri dalam colon. Oleh sebab itu penisilin G hanya dapat diberikan per parenteral. Sebaliknya, penisilin V tahan dalam suasana asam dan diabsorpsi dengan baik di lambung, meskipun terdapat makanan di dalamnya.

Setelah pemberian injeksi i.m, kadar puncak penisilin-G dicapai dalam waktu 15-30 menit tetapi segera turun karena obat secara cepat dieliminasi melalui ginjal. Waktu paruh (t 1/2 ) sekitar 30 menit. Penisilin-prokain merupakan campuran equimolar antara penisilin dengan prokain. Dalam bentuk ini kadar puncak tertunda hingga 1-3 jam.

Kadar penisilin-G dalam serum dan jaringan masih tetap ada hingga 12 jam pada pemberian 300.000 unit dan hingga bebeerapa hari pada pemberian 2,4 juta unit.

Benzatin penisilin merupakan kombinasi antara 1 mol penisilin dan 2 mol basa amonium, yang kadarnya masih tetap dapat terdeteksi dalam plasma hingga 15-30 hari.

Penisilin G didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dengan volume distribusi yang ekuivalen dengan yang terdapat dalam cairan ekstraseluler. Sekitar 10% dari penisilin-G dieliminasi melalui filtrasi glomeruler sedangkan yang 90% via sekresi tubuler.

Ekskresi penisilin dapat dicegah oleh adanya probenesid, sehingga dapat memperpanjang waktu paruhnya. Eliminasi renal penisilin

Penggunaan klinik penisilin

Narrow spectrum, sensitif terhadap beta-laktamase

Terutama efektif terhadap bakteri koken Gram (+), Neisseria, dan Gram (-) anaerob, tetapi dirusak oleh beta-laktamase. Termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin G dan penisilin V, prokain penisilin G, dan benzathine penisilin G.

Infeksi yang disebabkan oleh pnemokokus, streptokokus, meningokokus, dan gonokokus umumnya dapat diatasi dengan pemberian penisilin G 0,6 – 5 Juta Unit (0,36-3 gr) i.m. Dengan waktu paruh sekitar 0,5 – 1 jam, penisilin G dapat diberikan tiap 4 – 6 jam melalui infus, untuk infeksi berat yang disebabkan oleh bakteri di atas. Untuk infeksi ringan pada saluran pernafasan (faringitis, sinusitis, dan otitis media) yang disebabkan oleh bakteri di atas dapat diatasi dengan pemberian penisilin V atau fenoksi metil penisilin per oral, 1 – 4 gram per hari dengan frekuensi pemberian 4 kali sehari selama minimal 5 hari.

Untuk faringitis yang disebabkan oleh Streptokokus beta-hemolyiticus group A, dianjurkan untuk memberikan penisilin V, 4 x 500 mg selama 10 hari. Meskipun dalam 2 – 3 hari gejala faringitisnya mungkin menghilang, tetapi pemberian harus tetap dilanjutkan selama 10 hari untuk eradikasi streptokokus di sekitar faring dan nasofaring serta mencegah terjadinya penyakit jantung rematik atau glomerulonefritis akibat streptokokus beta hemolitikus group A (sebagai profilaksi).

Jika ketaatan pasien menjadi penyebab kegagalan terapi maka untuk profilaksi tersebut dapat diberikan benzathine penisilin G, i.m 1,2 juta unit sekali injeksi, karena durasinya sampai beberapa minggu. Jika terjadi infeksi berulang, dapat diberikan benzathine penisilin G 1,2 juta unit seminggu sekali selama 3 – 4 minggu.

Extended spectrum, antipseudomonas

Penisilin dari kelompok ini, yaitu karbenisilin dan tikarsilin, aktif terhadap Pseudomonas & bakteri yang resisten terhadap ampisilin dan merupakan Drug of Choice (DOC) untuk Pseudomonas aeruginosa.

Sepsis yang disebabkan oleh pseudomonas (misalnya karena luka bakar atau pada penderita yang terganggu sistem imunitasnya -immunosupressed patients- dapat diatasi dengan karbenisilin 12– 30 g/hari i.v., atau tikarsilin 200–300 mg/kgBB/hari, dan biasanya dikombinasi dengan aminoglikosida seperti gentamisin 5–7 mg/kgBB/hari i.m.

Narrow spectrum, resisten terhadap beta-laktamase

Terutama digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh stafilokokus yang menghasilkan beta-laktamase. Termasuk dalam kelompok ini adalah metisilin, oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin, dan nafsilin.

Secara mikrobiologis, efek kelima antibiotika tersebut tidak berbeda. Namun mengingat efek toksik metisilin relatif lebih besar, maka sebaiknya dipilih kloksasilin atau fluklosasilin yang lebih aman. Diandingkan dengan kloksasilin, efek gastrointestinal flukloksasilin lebih ringin.

Penisilin dalam kelompok ini relatif stabil dan diabsorpsi dengan baik di gastrointestinal, highly protein-bound (>95%), sehingga dapat diberikan per oral pada saat perut kosong, karena absorpsinya terganggu karena adanya makanan. Untuk infeksi lokal yang disebabkan oleh stafilokokus dapat diberikan 3–4 x 250–500 mg per oral. Untuk infeksi sistemik karena stafilokokus dapat diberikan nafsilin 8–12 g/hari i.v, diawali dengan 1–2 gr tiap 2–4 jam, masing-masing selama 20–30 menit dalam infus dekstrosa 5%.

Broad spectrum, aminopenisilin

Efektif terhadap beberapa Gram (-): Hemofilus, Neisseria, E. coli dan P. mirabilis, tetapi dirusak oleh enzim penisilinase. Tidak terdapat perbedaan efek klinik antara ampisilin dan amoksisilin pada pemberian parenteral. Pada pemberian per oral ampisilin dianjurkan diminum pada saat perut kosong (karena absorpsinya terganggu oleh adanya makanan), dengan frekuensi 4 kali sehari. Sedangkan amoksisilin dapat diberikan 3 kali sehari, dan absorpsinya dalam traktus gastrointestinal lebih baik dibanding ampisilin, serta tidak terganggu oleh adanya makanan maupun pH asam lambung. Di satu sisi ampisilin lebih murah dibanding amoksisilin, tetapi mengingat frekuensi pemberiannya harus 4 kali sehari, umumnya ketaatan pasien untuk minum obat lebih buruk dibanding pada pemberian amoksisilin.

Efek samping

•Efek samping penisilin bervariasi mulai dari yang ringan berupa ruam kulit, reaksi alergi, hingga yang berat seperti erupsi kulit dan syok anafilaksi. Insidensi reaksi anafilaksi relatif kecil, sekitar 2% di antara 100.000 penderita yang diterapi penisilin. Sedangkan erupsi kulit morbiliform terjadi pada 3-5% penderita.
•Meskipun jarang dapat pula terjadi netropenia akibat penekanan pada granulocyte-colony stimulating factor.
•Toksisitas pada ginjal relatif jarang, tetapi dapat pula terjadi nefritis interstisialis yang umumnya disebabkan oleh metisilin. Gejalanya seperti demam, macular rash, eosinofilia, proteinuria, hematuria, hingga anuria. Jika terapi dihentikan, gejala akan menghilang (reversibel).
•Efek samping yang cukup serius seperti enterokolitis pseudomembranosa dapat pula terjadi.
•Prokain penisilin dapat menyebabkan terjadinya sensasi pada sistema saraf dan jantung, khususnya bila secara tidak sengaja prokain masuk ke dalam darah saat pemberian injeksi



SEFALOSPORIN (CEPHALOSPORIN)

Sefalosporin merupakan antibiotika yang bersifat bakterisid yang aksi utamanya mirip dengan penisilin. Sefalosporin bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri pada fase akhir dengan terikat pada satu atau lebih Penicillin Binding Proteins (PBPs) yang terdapat pada membrana sitoplasma di bawah dinding sel bakteri.

Sebagian besar sefalosporin tersedia dalam bentuk parenteral. Meskipun distribusinya cukup luas di seluruh tubuh, hanya beberapa yang dapat menembus CSS dan mencapai kadar terapetik di otak pada kondisi meningitis. Semua sefalopsorin, termasuk yang eliminasi utamanya melalui mekanisme hepatal, memberikan konsentrasi yang cukup di dalam urin untuk terapi infeksi saluran kencing. Kadar sefalosporin di dalam kandung empedu dapat lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya dalam plasma. Sefalosporin aminothiazolyl dapat menembus humor aqueous sehingga bermanfaat untuk terapi infeksi pada mata. Dalam Tabel 3 dipresentasikan parameter farmako-kinetika sefalosporin generasi I s/d III.

Sefalosporin umumnya dieliminasi melalui mekanisme renal dengan berbagai tingkat sekresi tubuler dan filtrasi glomeruler. Tidak demikian halnya dengan sefoperazon dan seftriakson yang sebagian besar diekskresi melalui rute bilier (empedu).

Sefalosporin diklasifikasikan menurut generasi berdasarkan aktivitas antimikrobanya. Sefalosporin Generasi I terutama aktif terhadap kuman Gram positif dan sedikit Gram negatif, menghambat E. coli, P. mirabilis, dan K. pneumoniae. Beberapa sefalosporin Generasi II, aktivitasnya meningkat terhadap Haemophilus dan menghambat lebih banyak kuman Gram negatif. Dibandingkan dengan Generasi I, aktivitasnya lebih lemah untuk stafilokokus.

Sefalosporin Generasi III makin lemah efeknya terhadap stafilokokus, tetapi lebih aktif terhadap streptokokus, Enterobacteriaceae, Nisseria, dan Heamophilus sp. Seftasidim dan sefoperazone juga menghambat P. aeruginosa.

Sefalosporin Generasi I (First generation cephalosporin)

Spektrum antibakteri yang tergolong sefalosporin Generasi I hampir sama, dengan sefalotin menghambat sebagian besar bakteri koken gram positif (kecuali enterokokus), E. coli, Klebsiella, dan P. mirabilis. Sefalosporin Generasi I digunakan untuk terapi infeksi traktus respiratorius, kulit, traktus urinarius, selain juga untuk profilaksi pra bedah jantung atau prosedur pemasangan prosthese pada bedah ortopedi.

Sefalotin tidak diabsorpsi pada pemberian oral dan menimbulkan rasa sangat nyeri pada pemberian i.m. Oleh sebab itu pemberian dianjurkan i.v. Karena waktu paruhnya yang sangat pendek, obat ini jarang lagi digunakan pada saat ini.

Sefazolin daat diberikan baik secara i.m. maupun i.v. dan terdistribusi secara luas dalam tubuh tetapi tidak menembus cairan serebrospinal. Klirens melalui filtrasi glomeruler dan sekresi tubuler tanpa dimetabolisme.

Sefaleksin, sefadroksil, dan sefradin diabsorpsi secara baik pada pemberian oral dengan distribusi luas ke sebagian besar jaringan tubuh termasuk tulang. Obat-obat ini tidak dimetabolisme, sedangkan eliminasi melalui filtrasi glomeruler dan sekresi tubuler. Pada keadaan gagal ginjal diperlukan penyesuaian dosis. Obat yang dapat diberikan per oral, yaitu sefaklor, mengalami metabolisme ke dalam bentuk inaktif di samping mengalami eliminasi via filtrasi glomeruler dan sekresi tubuler.

Sefalosporin Generasi II (Second generation cephalosporin)

Sefamandol dan sefonisid lebih baik dari Generasi I khususnya terhadap Gram negatif Haemophilus sp., E.coli, Klebsiellaa, dan enterobakter yang lain, tetapi tidak dapat untuk mengatasi Pseudomonas atau Bacteroides. Dalam klinik digunakan untuk infeksi intraabdominal, pneumonitis aspirasi dan infeksi pada pelvis.

Sefamandol tidak diabsorpsi per oral dan tidak pula dimetabolisme. Eliminasi utamanya melalui sekresi tubuler. Demikian pula halnya dengan sefuroksim yang hanya dapat diberikan secara parenteral.

Pemberian sefoksitin terbatas dalam bentuk i.v. atau i.m. dengan distribusi yang cukup baik di tubuh, tetapi kadarnya dalam CSS tidak kurang adekuat.

Sefalosporin Generasi III (Third generation cephalosporin)

Seftizoksim, seftriakson, dan sefotaksim dalam klinik digunakan untuk infeksi nosokomial traktus respratorius, infeksi pada traktus urinarius,, infeksi kulit, osteomyelitis, dan meningitis (karena dapat menembus CSS).

Sefotaksim sebagian dimetabolisme ke derivat desasetil, yang mempunyai aktivitas antibakteri lebih rendah dibanding sefotaksim, tetapi lebih besar daripada sefalosporin generasi I dan II. Metabolitnya memberikan efek sinergis dengan sefotaksim dalam melawan berbagai mikroorganisme. Eliminasi terjadi melalui sekresi tubuler dan dihambat oleh probenesid. Pada gagal ginjal, waktu paruh dari obat induk dan metabolitnya meningkat.

Berbeda dengan sefalosporin yang lain, seftriakson memiliki waktu paruh yang panjang, yaitu 6-8 jam. Ikatan plasma proteinnya (90%) tergantung pada kadar obat dalam darah, dengan fraksi terbesar yaitu dalam bentuk bebas dengan konsentrasi total yang lebih tinggi. Oleh sebab itu seftriakson dapat diberikan 1 kali sehari. Seftriakson tidak dimetabolisme, 60%nya diekskresi di kandung empedu dan sisanya melalui ginjal. Dosis pemberian perlu disesuaikan jika terjadi disfungsi hepar dan renal secara bersamaan.

Sefoperason dieliminasi baik oleh empedu (75%) maupun ginjal (25%). Sefiksim diabsorpsi dengan baik per oral dan memiliki waktu paruh sekitar 4 jam.

Sefalosporin Generasi IV (Fourth generation cephalosporin)

Sepirom dan sefepim adalah sefalosporin generasi IV yang memiliki aktivitas lebih baik terutama untuk kuman gram positif, menghambat P.aeruginosa dan tidak terikat pada ß-laktamase tipe 1.

Penggunaan

Sebagai antibiotika spektrum luas (broad spectrum) sefalosporin memiliki rasio terapetik/toksik yang tinggi, dalam arti bahwa batas antara dosis terapetik dan dosis toksik sangat lebar. Meskipun efektif untuk berbagai jenis bakteri, sefalosporin Generasi I dan II jarang digunakan sebagai antibiotika pilihan pertama (first choice) karena antibiotika lain dengan efikasi yang sama dan jauh lebih murah tersedia di pasaran. Sedangkan sefalosporin Generasi III telah banyak dipilih sebagai first choice antibiotics khususnya untuk bakteri gram negatif. Namun demikian mengingat harganya yang sangat mahal, penggunaan sefalosporin Generasi III ini nampaknya akan cukup terbatas, khususnya di negara-negara sedang berkembang.

Pemberian sefalosporin Generasi I secara parenteral banyak dilakukan untuk profilaksi pada prosedur-prosedur pembedahan, seperti misalnya pemasangan katup jantung, bedah jantung, bedah rekonstruksi pada aorta, total hip replacement, bedah gastroduedenal dan traktus biliaris pada pasien risiko tinggi, dan seksio caesar.

Di antara sefalosporin Generasi I, sefazolin lebih banyak digunakan karena memberikan kadar obat dalam serum yang lebih tinggi di samping waktu paruh eliminasinya yang juga lebih panjang. Pemberian dosis tunggal i.v. sesaat sebelum dilakukan insisi pembedahan memberikan kadar yang cukup dalam jaringan selama prosedur pembedahan. Pemberian antibiotika berikutnya biasanya tidak diperlukan, apalagi jika dilakukan lebih dari 24 jam setelah pembedahan.

Untuk sefalosporin Generasi II, sefoksitin umumnya digunakan untuk infeksi intraabdominal, yang biasanya disebabkan oleh campuran antara bakteri enterik gram negatif dan bakteri anaerob, termasuk kelompok Bacteroides fragilis. Sefoksitin secara tunggal juga sama efektifnya dengan klindamisin untuk infeksi yang di dapat di komunitas (community acquired infection). Karena aktivitasnya yang lebih besar terhadap group Bacteroides fragilis dibanding sefalosporin Generasi I, sefoksitin biasanya juga digunakan untuk mencegah infeksi setelah apendiktomi atau bedah kolorektal.

Sefalosporin Generasi III memiliki efek yang lebih baik untuk beberapa jenis meningitis. Sefotaksim dan moksalaktam efektif untuk meningitis yang disebabkan oleh bakteri enterik Gram negatif, khususnya Eschericia coli, Klebsiella dan Proteus. Sebagian besar sefalosporin Generasi III seperti seftizoksim, seftriakson, dan seftazidim efektif terhadap meningitis yang disebabkan oleh H. influenzae tipe B yang sering terjadi pada anak.

Penggunaan sefalosporin Generasi III umumnya didasarkan pada beberapa keadaan berikut: (1) Infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotika lain (misalnya penisilin, sefalosporin Generasi I, II), tetapi masih sensitif terhadap sefalosporin Generasi III; (2) Jika diperlukan terapi dengan aminoglikosida, tetapi karena pemberian dalam waktu lama akan memberi risiko ototoksik dan nefrotoksik, maka dipilih sefalosporin Generasi III; (3)

Efek samping

•Efek samping hampir sama dengan penisilin, tetapi relatif lebih jarang. Insidensi syok anafilaksi juga rendah. Sekitar 5% individu yang pernah mengalami reaksi anafilaksi dengan penisilin akan memiliki risiko reaksi anafilaksi pada pemberian sefalosporin. Sefalosporin sebaiknya tidak diberikan kepada penderita yang pernah mengalami reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan berat setelah pemberian penisilin.
•Sekitar 1% penderita yang diterapi dengan sefaklor mengalami demam, nyeri sendi, dan oedema lokal.
•Sefoperazon dan moksalaktam dapat menyebabkan terjadinya reaksi disulfiram jika pasien mengkonsumsi alkohol dan dapat juga menyebabkan hipoprotrombinemia.
•Meskipun jarang, nefritis interstisialis bisa saja terjadi.

PENGHAMBAT ß-LACTAMASE

Dalam klinik tersedia kombinasi antara asam klavulanat (clavulanic acid) dengan amoksisilin atau tikarsilin. Klavulanat diabsorpsi dengan baik di traktus gastrointestinal dengan kadar puncak dalam plasma dicapai sekitar 1 jam setelah pemberian per oral. Penggabungan asam klavulanat ke dalam sediaan amoksisilin tidak berpengaruh terhadap farmakokinetika masing-masing obat. Absorpsinya juga tidak terganggu dengan adanya susu, makanan, dan antasida dalam lambung.

Pemberian asam klavulanat beserta tikarsilin secara i.v. akan secara cepat didistribusikan ke dalam tubuh. Akumulasi obat terjadi pada kadar klirens kreatinin < 10 ml/mnt. Klavulanat dapat mencapai seluruh bagian tubuh, dengan kadar terapi yang cukup baik di telinga tengah, jaringan tonsil, sekret sinus, empedu dan traktus urinarius.


Sulbaktam umumnya dikombinasikan dengan ampisilin untuk penggunaan parenteral. Obat ini dapat juga dikombinasikan dengan sefoperazon. Profil farmakokinetika sulbaktam mirip ampisilin, terdistrribusi secara luas di dalam tubuh termasuk CSS pada kondisi meningitis. Obat ini tidak dimetabolisme dan 75% dosis ditemukan dalam urin. Pada gagal ginjal, waktu paruhnya meningkat hingga 6 jam pada dewasa dan bayi baru lahir.

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 24 Juni 2009

Penyakit Infeksi

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara-negara sedang berkembang, seperti halnya Indonesia. Di pusat pelayanan kesehatan primer (Puskesmas), penyakit infeksi umumnya menempati 5 besar penyakit utama. Meskipun penemuan obat dan upaya terapi untuk penyakit infeksi relatif berkembang paling cepat dibandingkan dengan penyakit yang lain, tetapi morbiditasnya tetap tidak dapat ditekan pada tingkat yang minimal.



Salah satu kendala dalam proses terapi penyakit infeksi adalah sering sulitnya ditegakkan,diagnosis secara cepat dan akurat. Meskipun secara alamiah dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, parasit atau mikroorganisme lain, tetapi dalam praktek sering sulit untuk menetapkan causa primanya. Oleh sebab itu tentu diperlukan kemampuan yang memadai untuk menetapkan jenis kausanya berdasarkan gejala patognomonik masing-masing maupun berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium penunjang.

Kendala lain yang sering ditemukan adalah kurang tepatnya pemilihan jenis obat yang diberikan. Perlu diingat bahwa tidak setiap gejala demam harus selalu dikaitkan dengan infeksi bakterial misalnya. Dengan demikian, tidak setiap penyakit dengan gejala demam tinggi harus diberikan antibiotika. Selain itu beberapa penyakit pada saluran pernafasan atas, umumnya disebabkan oleh virus yang tidak memerlukan intervensi antibiotika.

Penggunaan obat yang rasional pada penyakit infeksi dengan demikian memerlukan beberapa ketentuan antara lain tepat diagnosis, tepat pemilihan jenis obat, tepat indikasi, tepat dosis, cara, frekueusi, dan lama pemberian, tepat penilaian kondisi pasien, dan dilakukan follow up setelah dimulainya pengobatan.

Dalam modul ini akan dibahas prinsip-prinsip dasar penggunaan antibiotika untuk penyakit infeksi, berdasarkan tinjauan epidemiologi, bakteriologi maupun berdasarkan masalah yang dijumpai dalam praktek sehari-hari.
.
TUJUAN

Setelah membaca modul ini mahasiswa diharapkan mampu:
1.Memahami prinsip-prinsip dasar penggunaan obat pada penyakit infeksi.
2.Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi infeksi.
3.Memeriksa secara logis berbagai penggunaan antibiotika pada penyakit infeksi ditinjau dari segi epidemiologi, bakteriologi, dan sifat risikokimiawi obat.
4.Memerikan pertimbangan pemberian antibiotika untuk keadaan khusus, misalnya kehamilan, kelainan ginjal, dan kelainan hepar.

KEPUSTAKAAN
Grahame-Smith DG and Aronson JK. Oxford Textbook of Dinical Pharmacology and drug Therapy, Oxford University Press, Oxford, 1994.
American Medical Association. Drug Evaluation. Annual. 1994. American Medical Association, New York, 1994.
Spelman D. Duration of Antibiotic Therapy, Practical Recommendations, Med. Prog, October 1994
Reese RE, Sentochnik DE, Douglas RG & Betts RF. Handbook of Antibiotics, 2nd Ed. Little, Brown and Co., Boston, 1995.
Speight TM. Avery's Drug Treatment. Principles and Practice of Dinical Pharmacology and Therapetics, 3rd ed. ADIS Press, Auckland, 1997.

PRINSIP-PRINSIP DASAR PEMILIHAN OBAT ANTIMIKROBA

Morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi di negara sedang berkembang seperti Indonesia masih cukup menonjol dan diperkirakan tetap termasuk dalam 5 penyakit utama hingga tahun 2000. Meskipun secara epidemiologi angka tersebut menurun dalam 10 tahun terakhir, tetapi penurunan ini tidak secepat pengembangan obat-obat yang ditujukan untuk mengatasi penyakit infeksi.

Besarnya anggaran belanja negara di sektor obat untuk antibiotika, misalnya masih cukup tinggi dan menyerap lebih dari 40% anggaran obat secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa upaya intervensi di seluruh sektor pelayanan kesehatan untuk penyakit infeksi masih cukup tinggi. Namun demikian pemborosan biaya obat ternyata juga bersumber dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional.

Untuk itu diperlukan beberapa prinsip dasar terapetika penyakit infeksi agar diperoleh hasil yang optimal dengan risiko yang minimal. Beberapa pertanyaan mendasar perlu dilontarkan sebelum kita memutuskan. memberikan antibiotika pada penyakit infeksi, yaitu:

1.APAKAH FOKUS PRIMER INFEKSI DAN ORGANISME Pf:NYEBAB YANG PALING MUNGKIN BERPERAN DALAM TERJADINYA INFEKSI DIKETAHUI!

Untuk menegakkan diagnosis infeksi, idealnya adalah melalui pemeriksaan bakteriologis. Namun demikian, untuk beberapa keadaan sering sulit dilakukan. Sebagai Contoh adalah penyakit infeksi yang bersifat life threatening atau mengancam jiwa seseorang. Untuk keadaan ini seringkali diagnosis ditetapkan atas dasar temuan-temuan klinik yang diperoleh selama pemeriksaan, oleh karena best guess antibiotic therapy harus segera dimulai. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini antara lain adalah lokasi primer dari infeksi (misalnya kulit, meninges, traktus urinarius, traktus respiratorius, traktus gastrointestinal, tulang, dan persendian), dan riwayat pasien sebelumnya (misalnya trauma, luka bakar, infeksi sebelumnya, atau eksposur terhadap alat medik tertentu seperti kateter dsb). Pengetahuan mengenai bakteri patogen yang terdapat secara spesifik dalam organ tubuh manusia mutlak diperlukan untuk melakukan best guess antibiotic therapy ini. Misalnya infeksi saluran kencing yang banyak terjadi pada wanita, umumnya disebabkan oleh E. coli, bronkitis akut umumnya disebabkan oleh H. influenzae dan tonsilitis folikuler akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pyogenes

Pemeriksaan tambahan (laboratorium, pengecatan Gram, dan sebagainya) meskipun tidak selalu mutlak harus dikerjakan, sering diperlukan untuk menetapkan diagnosis detinitif. atau dalam hal terjadi keraguan dari hasil pemeriksaan fisik.

Jika diagnosis telah ditegakkan dengan tepat, maka selanjutnya dapat dipilih antimikroba yang paling sesuai untuk infeksi yang bersangkutan.

2. APAKAH ADA INDIKASI UNTUK PEMBERIAN ANTIMIKROBA?

Beberapa infeksi lokal dengan tanda spesifik jelas memerlukan terapi antibiotika, misalnya pnemonia dan selulitis. Namun demikian beberapa gejala infeksi seperti demam, lekositosis, menggigil, myalgia, faringitis, disuria, dan batuk tidak selalu menjadi indikasi untuk memberikan antibiotika. Satu hal, yang perlu diingat adalah bahwa tidak setiap demam menjadi tanda adanya infeksi bakterial, Demam dapat disebabkan oleh obat (drug, fever), tumor, maupun virus yang sama sekali tidak memerlukan antibiotika. Pemberian antibiotika pada infeksi oleh virus sama sekali tidak rasional, karena di samping tidak efektif dan pemborosan biaya juga memberi risiko terjadinya efek samping pada penderita.

Sebagian besar (> 80%) infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), terutama pada anak dan balita, disebabkan oleh virus. Oleh karena itu, umumnya tidak memerlukan antibiotika. Meskipun gejala infeksi viral dan bakterial pada organ ini hampir mirip, pemberian antibiotika harus dipertimbangkan dengan seksama. Pharynx kemerahan tidak mutlak dimiliki oleh infeksi bakterial, kecuali jika disertai dengan eksudat di tonsil atau sekitar pharynx.

Seorang penderita dengan gejala klinik rinban tetapi secara fisik tampak sehat, tidak memerlukan antibiotika, kecuali jika telah diperoleh hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah ke infeksi bakterial. Pada keadaan ini pemberian antibiotika terlalu awal, apalagi jika tidak tepat jenisnya, justru akan membingungkan gambaran klinik selanjutnya. Perlu diingat bahwa pemberian antibiotika sekali dosis pada kondisi ini justru akan menekan gambaran kultur selama beberapa hari.

Tidak demikian halnya dengan keadaan-keadaan berikut yang memang memerlukan antibiotika secara cepat.
a.Pasien dengan gejala klinik derajat sedang hingga berat, disertai dengan lesi fokal, misalnya pnemonia, infeksi saluran kencing, infeksi saluran empedu mutlak memerlukan antibiotika.
b.Penderita sepsis
c.Penderita dengan demam dan lekopenia
d.Endokarditis akut
e.Meningitis bakterial
f.Selulitis nekrotikans akut.

3.JIKA TELAH DIPUTUSKAN UNTUK MEMBERIKAN ANTIBIOTIKA, APAKAH KEPUTUSAN TERSEBUT DIDASARKAN PADA HASIL PEMERIKSAAN YANG AKURAT

Untuk menentukan bakteri patogen penyebab infeksi, mutlak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pengecatan Gram dapat sangat membantu hal ini. Sebagai contoh adalah meningitis. Pada keadaan ini, hasil pengecatan Gram pada cairan serebrospinal (CSS) dapat digunakan untuk segera memulai terapi dengan benzilpenisilin. (biasanya ditemukan banyak bentuk polimorf dan diplokokus Gram negatif berbentuk ginjal). Bakteri diplokokus Gram (+) pada CSS hampir pasti adalah pnemokokus yang sensitif terhadap benzilpenisilin, sedangkan Gram (-) basili pada CSF biasanya mengarah pada H, influenzae, yang sensitif terhadap kloramfenikol dan ampisilin.

Umur pasien juga menjadi pertimbangan penting dalam menetapkan jenis terapi. Sebagai contoh, meningitis pada neonatus umumnya disebabkan oleh streptokokus group B. Pada anak umur kurang dari 2 tahun biasanya disebabkan oleh H. Influenzae, S. pneumoniae, atau N. Meningitis. Kedua bakteri terakhir banyak berkaitan dengan meningitis pada dewasa.

Pemilihan antibiotika dan penetapan dosis tentunya juga harus mempertimbangkan umur pasien. Misalnya tetrasiklin hendaknya tidak diberikan pada anak umur kurang dari 8 tahun karena menyebabkan diskolorisasi pada gigi. Jika kloramfenikol terpaksa harus diberikan pada neonatus maka monitoring kadar obat harus dilakukan untuk menghindari terjadinya grey baby syndrome.
Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah beratnya penyakit. Misalnya pada sepsis dengan sebab yang tidak jelas, biasanya memerlukan pemberian antibiotika kombinsi. Demikian pula halnya dengan infeksi berat pada pelvis atau abdomen umumnya memerlukan kombinasi antibiotika untuk memperluas spektrum antibakteri.

Data epidemiologi infeksi penting juga diperhatikan dalam proses terapetika. Infeksi yang diperoleh di rumah sakit (hospital aqcuired infections) umumnya disebabkan oleh bakteri Gram (-) yang resisten terhadap penisilin, ampisilin, dan antibiotika lain yang sering diresepkan pada penderita rawat jalan. Untuk itu, pemberian aminoglikosida, misalnya, sering menjadi pilihan pertama pada keadaan ini di rumah sakit. Demikian pula halnya dengan infeksi yang terjadi pada pasien yang dirawat di Unit Perawatan Intensif, biasanya disebabkan oleh bakteri Gram (-) yang resisten.

Infeksi yang diduga disebabkan oleh stafilokokus, baik yang diperoleh di rumah sakit maupun di komunitas, biasanya dianggap resisten terhadap penisilin. Dengan demikian pemberian penisilin atau derivatnya sebaiknya dihindari.





4.JIKA TERSEDIA LEBIH DARI SATU JENIS ANTIBIOTIKA UNTUK TERAPI INFEKSI YANG BERSANGKUTAN, ANTIBIOTIKA YANG MANAKAH YANG SEBAIKNYA DIBERIKAN PADA PASIEN?

a. Pertimbangan segi risiko dan keamanan bagi pasien

Dalam farmakoterapi selalu dikenal drug of choice atau obat pilihan utama. Jika karena suatu sebab (misalnya alergi) pemberian obat pilihan utama ini tidak dapat dilakukan, maka selalu tersedia obat alternatif.

Yang perlu diingat adalah perlunya menanyakan riwayat hipersensitivitas terhadap antibiotika tertentu. Penderita yang mempunyai riwayat alergi terhadap penisilin umumnya juga alergi terhadap derivat-derivat penisilin.

Efek samping akibat pemberian penisilin dilaporkan terjadi pada 1-10% populasi pengguna penisilin, sedang kasus fatal hanya terjadi pada sekitar 0,002 % pasien. Namun demikian, meskipun secara kuantitatif relatif kecil, perlu selalu diwaspadai berbagai kemungkinan efek samping yang dapat membahayakan pasien. Ingat pula bahwa drug fever akibat pemberian penisilin juga dapat terjadi pada pasien-pasien tertentu. Untuk itu maka setiap gejala demam yang dicurigai tidak membaik setelah pemberian penisilin mungkin berkaitan dengan drug fever ini.

Meskipun secara epidemiologi tidak begitu besar (5-15 %), reaksi silang akibat pemberian sefalosporin dialami .juga oleh pasien yang alergi terhadap penisilin. Oleh sebab jika ditemukan riwayat alergi penisilin sebelumnya maka pemberian sefalosporin juga harus dipertimbangkan secara seksama.

b. pH dan kemampuan penetrasi antibiotika pada daerah infeksi

Pertimbangan ini sangat penting terutama pada infeksi yang terjadi di sistema saraf pusat. Aminoglikosida, klindamisin, sefalosporin generasi I dan beberapa sefalosporin generasi III tidak menembus sawar darah otak dengan baik, sehingga tidak pernah dianjurkan untuk terapi meningitis. Berdasarkan sifat keasamannya, antibiotika golongan aminoglikosida terbukti lebih efektif pada media alkali, sedangkan pada pus dan sputum pH asam justru mengganggu aktivitas antibiotika ini.
.
c. Sifat antibiotika

Antibiotika yang bersifat bakteriostatik bekerja dengan menghambat pertumbuhan bakteri, dengan demikian akan sangat tergantung pada kondisi tubuh kita, Jika kondisi tubuh lemah dan oleh suatu sebab antibiotika harus dihentikan, maka bakteri yang semula dihambat pertumbuhannya akan berkembang, memperbanyak diri, dan justru menimbulkan kekambuhan penyakit. Berbeda halnya dengan antibiotik yang bersifat bakterisid, yang tidak tergantung pada mekanisme pertahanan tubuh. Pasien dengan neutropenia atau mengalami penekanan sistem imunitas (immunosuppressed patient) sebaiknya mendapat antibiotika yang bersifat bakterisidal.

d. Broad spektrum atau narrow spektrum

Terapi infeksi secara empirik umumnya lebih banyak mengandalkan penggunaan antibiotika berspectrum lebar (misalnya kloramfenikol dan amoksisilin). Namun demikian, idealnya digunakan antibiotika narrow spektrum (misalnya penisilin) jika kuman penyebab diketahui secara pasti. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko terjadinya resistensi secara cepat pada beberapa jenis kuman dalam tubuh.

e. Pertimbangkan biaya antibiotika untuk 1 course of treatment

Sebagian besar antibiotika mahal harganya, dan terbukti bahwa secara nasional justru menjadi beban dari keseluruhan biaya pengobatan. Sebagai ilustrasi, sekitar 40% anggaran belanja obat nasional digunakan untuk antibiotika, yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan (brand name drug). Sementara berbagai penelitian menemukan bahwa pemborosan dana di sektor antibiotika ini terjadi karena penggunaannya yang tidak rasional. Sebagai contoh, lebih dari 80% ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) disebabkan oleh virus, sehingga antibiotika sama sekali tidak diperlukan. Tetapi dalam kenyataannya di Puskesmas maupun praktek swasta, antibiotika justru diberikan pada sekitar 90% penderita ISPA. Hal ini tentu pemborosan yang justru membebani penderita dan keluarganya.

Jika dalam kenyataannya tersedia antibiotika yang harganya lebih murah (sediaan generik) tetapi mutu dan efikasi kliniknya sebanding, mengapa harus memilih antibiotika yang mahal? Praktek semacam ini dianggap tidak rasional (irrasional prescribing).

f.Pertimbangkan kebutuhan pasien (patient’s compliance)

Makin sering antibiotika harus diminum oleh pasien maka makin berkurang pula kepatuhan pasien untuk minum obat. Sebagai contoh pemberian antibiotika dengan frekuensi 1-2 kali sehari akan lebih mudah dipatuhi dibandingkan pemberian 3-4 kali sehari. Di samping itu, dari segi biaya mungkin lebih cost effective untuk 1 cost of treatment. Pada saat ini telah hanyak dikembangkan antibiotika yang dapat diberikan 1 kali sehari (misalnya azitromizin dan doksisiklin) atau 2 kali sehari (misalnya minosiklin, siprofloksasin, dan kotrimoksazol), meskipun harganya per satuan lebih mahal dibandingkan dengan antibiotika yang lain.

Beberapa penelitian juga menemukan bahwa makin banyak jenis antibiotika yang diresepkan pada satu pasien maka makin berkurang pula kepatuhan pasien untuk minum obat. Apalagi jika aturan pemakaiannya berbeda (misalnya yang satu diberikan 3x sehari dan yang lain 4x sehari). Pemberian antibiotika secara kombinasi harus didasarkan pada persyaratan yang ketat, antara lain (1) jika terbukti efek sinergisnya meningkatkan clinical efficacynya (misalnya sulfametoksazol + trimetoprim); (2) mengurangi risiko terjadinya resistensi; (3) mengurangi risiko efek samping; dan (4) terbukti secara ilmiah melihatkan berbagai bakteri yang hanya dapat diatasi dengan antibiotika kombinasi.
5. FAKTOR LAIN APAKAH YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN PADA PEMBERIAN
ANTIBIOTIKA?

Meskipun pemakaian antibiotika dapat bersifat universal, artinya dapat digunakan pada siapa saja dengan bakteri penyebab yang sama, tetapi pendekatan individual sangat diperlukan untuk meningkatkan efek klinik dan mengurangi risiko efek samping. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara lain adalah:



a.Faktor Genetik
Pemberian preparat sulfa dan nitrofurantoin pada penderita G6-PD harus dihindari karena akan memacu terjadinya hemolisis.

b.Farmakokinetika
Beberapa antibiotika dapat menembus sawar darah otak pada keadaan inflamasi sementara yang lain justru efektif pada keadaan non-inflamasi. Demikian pula halnya dengan absorpsi antibiotika dalam lambung. Ampisilin, misalnya akan terganggu absorpsinya jika terdapat makanan dalam lambung. Dengan kata lain pemberian ampisilin sesaat sebelum atau setelah makan sangat tidak dianjurkan. Tidak demikian halnya dengan amoksisilin yang tidak dipengaruhi oleh adanya makanan dalam lambung.

Beberapa hal berikut dapat digunakan sebagai pegangan dalam proses terapetika dengan antibiotika
-Pada keadaan abses, penetrasi antibiotik sangat buruk. Oleh sebab itu drainage abses sebelum pemberian antibiotika sangat dianjurkan
-Kadar ampisilin, tetrasiklin, dan amoksisilin cukup tinggi dalam saluran empedu. Dengan demikian ketiga antibiotika tersebut cukup efektif pada terapi infeksi traktus hiliaris.
-Kemampuan linkomisin, klindamisin, asam fusidat, dan penisilin tahan penisilinase untuk menembus tulang cukup tinggi. Sehingga obat tersebut dianjurkan untuk osteomyelitis yang disebabkan oleh stafilokokus
-Pada infeksi saluran kencing yang disertai dengan inflamasi jaringan dengan banyak pus dan bakteri dalam urin, diperlukan antibiotika yang tidak hanya mencapai bakteri dalam jaringan dalam traktus urinarius, tetapi juga mencapai kadar yang cukup tinggi dalam urin. Contrimoksazol, amoksisilin, sulfonamida, nitrofurantoin, asam nalidiksat, dan gentamisin menjadi pilihan antibiotika untuk keadaan tersebut.

c.Kehamilan dan menyusui
Sebagian besar antibiotika dapat menembus plasenta dan terdapat dalam sirkulasi darah janin. Beberapa jenis antibiotika diketehui memberi efek buruk pada janin dan harus dihindari selama kehamilan (misalnya kloramfenikol, metronidazol, tetrasiklin, dan sulfa)
Antibiotika yang terbukti amanselama masa kehamilan adalah penisilin, sefalosporin dan eritromisin basa.

d.Fungsi ginjal
Pada penderita dengan kelainan ginjal atau gagal ginjal, pemberian antibiotika harus mempertimbangkan jenis dan dosisnya. Jika terpaksa harus memberikan antibiotika yang ekskresi utamanya di ginjal, maka harus dilakukan monitoring fungsi ginjal secara ketat selama pasien minum obat.

e.Fungsi hepar
Pada penderita dengan kelainan hepar pemberian antibiotika akan memperpanjang waktu paruhnya. Pemberian beberapa antibiotika (misalnya kloramfenikol, klindamisin, dan eritromisin) pada kondisi ini perlu pertimbangan yang seksama.

f.Mekanisme pertahanan humoral dan selular tubuh
Penderita-penderita yang mendapat terapi kortikosteroid, kemoterapi atau radiasi, khususnya pada keadaan lekopeni, memiliki risiko tinggi untuk terjadinya infeksi bacterial. Oleh sebab itu antibiotika yang bersifat bakterisidal yang harus diberikan pada kondisi seperti tersebut.

g.Resistensi bakteri
Terjadinya resistensi bakteri akibat penggunaan antibiotika secara tidak rasional telah banyak diteliti. Terlalu sering dan mudahnya meresepkan antibiotika broad spectrum untuk kasus-kasus yang jelas memerlukan antibiotika narrow spectrum (misalnya faringitis streptokokus beta hemolitikus Group A) menjadi salah satu penyebab makin cepatnya terjadinya resistensi bakteri. Infeksi oleh bakteri stafilokokus di rumah sakit umumnya resisten terhadap penisilin oleh karena mereka memproduksi enzim penisilinase. Oleh sebab itu untuk kasus ini sebaiknya diberikan flukloksasilin atau dengan menambahkan asam klavulanat pada sediaan penisilin.

6.BAGAIMANA MENETAPKAN CARA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA
Tergantung pada sifat fisikokimiawinya, beberapa antibiotika akan diabsorpsi lebih baik pada pemberian oral (misalnya amoksisilin), sedangkan antibiotika yang lain justru tidak diabsorpsi pada pemberian oral (penisilin). Oleh sebab itu diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai cara pemberian antibiotika.

a.Pemberian secara oral
Sebagian besar kaksus infeksi pada penderita rawat jalan memberikan respons baik pada pemberian antibiotika secara oral, misalnya infeksi pada kulit, faringitis bacterial, infeksi saluran kencing, dan bronchitis.
Beberapa kasus infeksi pada penderita rawat inap pun memberi respons baik pada pemberian antibiotika secara oral apabila setelah beberapa hari pemberian secara parenteral menunjukkan adanya perbaikan. Sebagai contoh adalah pada penderita pyelonefritis tanpa komplikasi yang mengalami perbaikan setelah 3-4 hari pemberian ampisilin secara parenteral. Terapi pada hari ke 4 dst dapat dialnjutkan dengan amoksisilin oral. Demikian pula halnya dengan pemberian klindamisin parenteral pada luka bakar yang dapat dilanjutkan dengan pemberian per oral setelah beberapa hari pengobatan.

b.Pemberian secara intravenosa
Pemberian antibiotika secara intravenosa umumnya dilakukan untuk tujuan penyelamatan, pada kasus infeksi berat yang memerlukan terapi segera (misalnya spsis dan meningitis). Route pembrian IV juga dilakukan juka pada pemberian secara IM terbukti terjadi hipotensi atau perdarahan diatesis.

c.Pemberian secara intramuskuler
Antibiotika golongan aminoglikosida dan prokain penisilin pemberian kadar dalam serum yang tinggi pada pembrian IM, sementara beberapa antibiotika yang lain justru sebaliknya setelah pemberian beberapa dosis.

7.BAGAIMANA MENETAPKAN DOSIS ANTIBIOTIKA ?
Penetapan dosis antibiotika umumnya didasarkan atas berat badan. Secara rinci besarnya dosis untuk masing-masing antibiotika dapat dilihat pada kuliah Semester IV atau pada buku-buku teks standar. Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah penetapan dosis pada neonatus, bayi premature, maupun usia lanjut, dan penderita dengan kelainan hepar, atau ginjal yang memerlukan penghitungan secara khusus.

8.BEBERAPA LAMA ANTIBIOTIKA HARUS DIBERIKAN ?
Untuk menentukan berapa lama antibiootika harus diberikan pada seorang pasien, sangat tergantung pada kondisi pasien maupun sifat ekologis bakteri. Sebagai contoh, penderita dengan infeksi kronis obstruktif jalan nafas eksaserbasi akut akan memerlukan pemberian antibiotika lebih lama jika dibandingkan dengan infeksi akutnya. Demikian juga halnya dengan bakteri yang lebih resisten (misalnya P. aeruginosa) mungkin memerlukan terapi antibiotika yang lebih lama. Pertimbangan lain adalah, semakin lama antibiotika diberikan akan semakin meningkatkan risiko terjadinya resistensi.

Beberapa pertanyaan kunci
1.apa saja yang harus dipertimbangkan pada pengobatan pada penyakit infeksi ?
2.faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan terapi pada penyakit infeksi ?
3.sebutkan komponen-komponen yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan jenis antibiotika!
4.kapan terapi obat pada penyakit infeksi dikatakan tidak rasional ?
5.kapan antibiiotika kombinasi boleh diberikan ?



Dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian, maka lama pemberian antibiootika yang optimal untuk kondisi tertentu dapat diketahui dengan pasti


[+/-] Selengkapnya...

Anti Mikroba

PENGANTAR

Obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri lazim disebut sebagai antibiotika atau lebih luas lagi, antimikroba. Antibiotika merupakan substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme yang lain. Sedangkan antimikroba memiliki arti yang lebih luas lagi karena juga mencakup substansi kimia yang dihasilkan melalui proses sintesis di laboratorium.

untuk lengkapnya silahkan DOWNLOAD di sini


jangan lupa commentnya ya...

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 22 Juni 2009

Contoh Uraian Tugas Instalasi Farmasi

Bagi temen2 sejawat yang lagi bingung buat uraian tugas, silahkan lihat contoh sederhana uraian tugas di instalasi farmasi RSUD Curup

DOWNLOAD DISINI

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 21 Juni 2009

Batuk, Pilek, dan Diare tidak Perlu Antibiotik

PENGGUNAAN antibiotik di Indonesia memang nyaris tanpa arahan. Banyak dokter memberikan antibiotik kepada pasien, padahal penyakit yang diderita mereka sebetulnya tidak memerlukan antibiotik. Indonesia memang belum memiliki standar baku mengenai penggunaan antibiotik, sementara di luar negeri penatalaksanaannya untuk setiap penyakit telah dibakukan.

Menurut peneliti mikrobiologi klinik dr Amin Soebandrio PhD dari Bagian Mikrobiologi FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, di negara-negara maju penggunaan antibiotik ada aturannya untuk memperkecil efek samping dari penyakitnya.

"Di kalangan internasional, khususnya di negara maju, telah diberlakukan peraturan perusahaan dalam mengendalikan antibiotik ini. Karena semua pengobatan yang menggunakan antibiotik telah dibakukan dalam appropriate antibiotic therapy (AAT)."

AAT tersebut, kata Amin, merupakan panduan agar tepat indikasinya. Amin memberi contoh seorang pasien yang terkena infeksi, apakah perlu diobati dengan antibiotik?

"Bagaimana obatnya, dosisnya, timing-nya harus jelas. Misalnya, cara pemberian obatnya apakah per oral, disuntikkan atau dioleskan melalui salep. Waktunya apakah sehari dua kali atau sekali. Begitu juga soal meminumnya sebelum atau sesudah makan. Semua itu harus jelas."

Biasanya, kata Amin, pasien yang seharusnya minum antibiotik untuk lima hari, hanya memakainya dua hari karena kondisinya sudah membaik. Penggunaan antibiotik seperti itu tidak tepat, karena akan menyebabkan risiko infeksi tidak sembuh. "Karena pasien terinfeksi bakteri baru yang resisten dalam antibiotik itu, pasien akan terjangkit penyakit lebih parah."

Lebih lanjut, ia menjelaskan, fakta menyebutkan terdapat perbedaan dalam angka kematian akibat infeksi yang diobati dengan antibiotik secara tepat dan tidak tepat di rumah sakit.

"Angka kematian akibat infeksi karena penggunaan antibiotik tidak tepat mencapai dua sampai tiga kali lipat dibanding penggunaan antibiotik secara tepat."

Sayangnya, lanjutnya, di Indonesia tidak ada data detail tentang angka kematian itu.

Efek samping

Amin mengatakan efek samping akibat pemberian antibiotik yang tidak tepat bisa dilihat dari pemberian dosisnya. Apabila dosis yang diberikan lebih tinggi atau lebih kuat akan mengakibatkan efek toksin (racun). Sedangkan pemberian dengan dosis rendah menyebabkan kuman menjadi resisten. Jadi, antibiotik harus diberikan secara tepat.

Pada obat-obat antibiotik yang kuat atau dosis tinggi, menurut Amin, bisa menyebabkan gangguan pada ginjal, tulang cepat keropos atau gigi mudah tanggal.

"Tren sekarang ini para dokter sering kali memberikan antibiotik untuk penyakit batuk, pilek, maupun diare. Padahal, penyakit semacam itu memiliki sifat bisa sembuh sendiri seiring membaiknya daya tahan tubuh. Sebab, ada juga batuk, pilek, maupun diare yang disebabkan virus. Sehingga pengobatan pun harus jeli dan tidak perlu menggunakan antibiotik."

Demikian juga dengan penderita demam berdarah (DB), lanjut Amin, untuk menyembuhkannya tidak perlu menggunakan antibiotik melainkan dengan cairan infus untuk menaikkan trombosit dan obat penurun panas.

"Pemberian antibiotik baru dilakukan apabila virus dengue sudah menyerang paru-paru, dan dikhawatirkan akan terjadi infeksi nosokomial yang ada di rumah sakit."

Ia menambahkan, selama ini argumentasi dokter memberikan antibiotik pada penyakit batuk, pilek, maupun diare supaya tidak terjadi infeksi sekunder. Padahal, tidak harus demikian cara pengobatannya.

Dalam kenyataan di lapangan apabila ada orang yang menggunakan antibiotik sembarangan atau penggunaannya tidak rasional, maka yang terjadi adalah bakteri-bakteri 'baik' di dalam tubuh akan terganggu.

"Masalahnya bukan karena jodoh atau tidak obat itu ke dalam tubuh. Pemberian antibiotik yang terlalu sering dan tidak rasional menyebabkan bakteri patogen dan bakteri 'baik' sama-sama terbasmi.

"Kalau bakteri baik terganggu, akibatnya ada beberapa bakteri yang berada di usus, kulit, saluran vagina maupun mulut ikut tereliminasi. Kalau bakteri 'baik' ikut tereliminasi, maka akan menyebabkan diare atau sebaliknya susah buang air besar karena tidak ada bakteri baik yang memproses pembuangan."

Sebab, kata Amin lagi, bagian-bagian tubuh tersebut sangat membutuhkan bakteri baik untuk keseimbangan. Demikian juga dengan kulit, akan menumbuhkan jamur-jamur karena bakteri baik tidak bisa bekerja maksimal.

Sedangkan pada mulut akan menumbuhkan sariawan. Orang yang sariawan selain kekurangan vitamin C juga akibat dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Pada saluran vagina juga akan timbul jamur yang menyebabkan keputihan.

Demikian juga dengan sakit gigi apabila ada lubang yang menimbulkan abses karena infeksi, adanya nanah dan bengkak baru diberikan antibiotik. Apabila sakit gigi hanya ngilu atau nyeri biasa tidak perlu diobati dengan antibiotik.

"Gigi yang nyeri bisa sembuh dengan sendirinya. Gigi dibersihkan dan apabila memang giginya sudah rusak bisa dicabut," kata dokter Amin.

Sebetulnya, jelas Amin, sudah ada informasi mengenai aturan pakai beserta efek samping dalam penggunaan antibiotik. Untuk itu harus dipatuhi oleh dokter maupun pasien. Dosis bisa diberlakukan dengan melihat berat badan, usia, riwayat penyakit, dan yang diutamakan adalah penyakit yang disebabkan infeksi, bukan penyakit lainnya. (Nda/V-1)

Sumber: www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004051903121403

[+/-] Selengkapnya...


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Dresses. Powered by Blogger